Quran Journaling Day 11 Bersama SAHAL: Menyadari Dosa Lewat Tadabbur Surat Ali Imran Ayat 147
Published by: Aryanty | Date: 30 January 2025
Masihkah kita terlalu keras pada diri sendiri saat mengingat kesalahan di masa lalu? Ada rasa bersalah yang terus menghantui, bahkan mungkin membuat kita lebay dalam menghakimi diri sendiri atau orang lain. Padahal, menyadari dosa bukan berarti kita harus terjebak dalam penyesalan tanpa akhir. Justru, ini bisa menjadi langkah praktis untuk menyeimbangkan dunia dan akhirat, self-healing dan pengembangan diri.
Dalam Quran journaling bersama Sahal (Sahabat Al Qur’an) kali ini, kita akan merenungkan Ali Imran ayat 147. Ayat ini menggambarkan doa para pejuang Uhud yang tetap teguh, tetapi juga rendah hati memohon ampunan kepada Allah. Dari mereka, kita belajar bahwa kesadaran akan dosa bukanlah beban, melainkan jalan untuk hati yang lebih bersih, lebih kuat, dan lebih siap menghadapi hidup yang balance. Yuk, kita eksplorasi lebih dalam maknanya!
Quote the Ayat
وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ اِلَّآ اَنْ قَالُوْا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَاِسْرَافَنَا فِيْٓ اَمْرِنَا وَثَبِّتْ اَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ
Tidak lain ucapan mereka kecuali doa, “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan dalam urusan kami, tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
(Ali Imran:147)
Understand the Context & Tafsir
Surat Ali Imran ayat 147 merupakan bagian dari rangkaian ayat yang berbicara tentang kesabaran dan keteguhan hati para pejuang di jalan Allah. Ayat ini turun dalam konteks Perang Uhud, sebuah pertempuran besar antara kaum Muslimin dan Quraisy Mekah yang terjadi pada tahun ke-3 Hijriyah.
Dalam Perang Uhud, kaum Muslimin awalnya memperoleh kemenangan. Namun, ketika sebagian pasukan pemanah melanggar perintah Rasulullah ﷺ dan meninggalkan pos mereka, pasukan Quraisy berhasil melakukan serangan balik. Akibatnya, banyak sahabat yang gugur, termasuk paman Nabi, Hamzah bin Abdul Muthalib. Kondisi ini sangat menguji keimanan kaum Muslimin.
Di tengah kondisi genting itu, para pejuang yang tetap teguh tidak hanya bertahan secara fisik, tetapi juga secara spiritual. Mereka tidak mengeluh atau berputus asa, melainkan terus berdoa kepada Allah.
Berdasarkan berbagai tafsir, K.H.Dr. Mustafa Umar, Lc., M.A. menerangkan bahwa ayat ini menggambarkan doa yang dipanjatkan oleh para pengikut setia nabi saat menghadapi peperangan. Mereka memiliki tiga permohonan utama dalam doa mereka, yakni:
- Memohon ampunan dosa – Mereka ingin memastikan bahwa segala ujian dan cobaan yang mereka hadapi bukan sebagai azab akibat dosa-dosa mereka, melainkan sebagai ujian yang meninggikan derajat mereka di sisi Allah.
- Memohon keteguhan hati – Mereka meminta kepada Allah agar tetap kokoh dalam pendirian mereka untuk berjuang di jalan-Nya, tanpa rasa takut atau ragu, sehingga mereka tidak berpaling atau mundur dari pertempuran.
- Memohon pertolongan Allah – Mereka menyadari kelemahan mereka dan meminta agar Allah memberikan kekuatan dan kemenangan atas musuh-musuh mereka.
Allah menjanjikan balasan bagi mereka yang beriman dan berdoa dengan penuh keyakinan, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, mereka mendapatkan kemenangan dan kejayaan, sementara di akhirat mereka memperoleh pahala yang jauh lebih besar dan lebih baik.
Pada akhir ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menekankan bahwa Dia mencintai orang-orang yang berbuat baik (al-muhsinin), yakni mereka yang melakukan amal shaleh dengan penuh keikhlasan dan kesadaran bahwa Allah selalu melihat mereka. Dengan demikian, umat Islam diajak untuk meneladani sifat-sifat para pejuang terdahulu yang penuh keimanan, keteguhan, dan semangat dalam menghadapi berbagai ujian hidup.
Reflection
- Apakah aku sering berlebihan dalam menyalahkan diri sendiri saat melakukan kesalahan?
- Apakah aku terlalu keras menilai kesalahan orang lain, seolah mereka nggak pantas dimaafkan?
- Saat menghadapi masalah, apakah aku lebih banyak mengeluh atau justru langsung berdoa dan mencari solusi seperti para pejuang di ayat ini?
- Apakah aku sering terjebak dalam overthinking tentang masa lalu, padahal yang dibutuhkan adalah istighfar dan melangkah ke depan?
- Dalam mengejar sesuatu, apakah aku terlalu ambisius sampai lupa kalau semua tetap bergantung pada pertolongan Allah?
- Ketika marah atau kecewa, apakah aku bisa mengendalikan emosiku atau justru bereaksi berlebihan yang nantinya kusesali?
- Sudahkah aku berdoa dengan penuh keyakinan seperti yang dicontohkan dalam ayat ini, atau selama ini doaku hanya sekadar formalitas?
Pertanyaan-pertanyaan ini bikin aku sadar, bahwa keseimbangan dalam berpikir, merasa, dan bertindak itu penting. Jangan sampai berlebihan dalam menyalahkan diri, menghakimi orang lain, atau tenggelam dalam emosi. Lebih baik, kita belajar dari ayat ini untuk tetap optimis, bersandar pada Allah, dan move on menjadi versi terbaikku dalam meneladani Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam.
Apply to Life
Menurut Ustadz Dr. Aam Amirudin, M.Si. ayat ini mengajarkan bahwa israaf (berlebih-lebihan) bisa terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari emosi, pikiran, hingga tindakan. Kita sering kali terlalu ekstrem dalam menilai kesalahan diri sendiri, menumpuk rasa bersalah yang tak berujung, atau bahkan menuntut kesempurnaan dari orang lain. Padahal, Allah subhanahu wa ta’ala mengajarkan keseimbangan hidup, seperti dicontohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallaam berupa: introspeksi tanpa menyiksa diri, disiplin tanpa kehilangan kebahagiaan, serta tegas tanpa kehilangan kelembutan.
Makna Israaf dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Dalam Emosi dan Pikiran
Wajar kalau kita khawatir atau takut, tapi kalau sampai membuat kita berhenti berusaha, itu namanya berlebihan. Misalnya, takut gagal dalam bisnis atau pekerjaan itu normal, tapi kalau sampai nggak berani mencoba sama sekali, itu justru menghambat perkembangan diri.
2. Dalam Harta dan Gaya Hidup
Punya barang yang kita suka itu nggak salah, tapi kalau sampai menumpuk tanpa manfaat, itu termasuk mubazir. Misalnya, koleksi sepatu sesuai kebutuhan itu wajar, tapi kalau membeli hanya karena impulsif dan jarang dipakai, itu bisa termasuk israaf.
3. Dalam Ibadah
Semangat ibadah itu bagus, tapi kalau sampai mengabaikan hak tubuh, keluarga, atau pekerjaan, itu juga kurang bijak. Rasulullah SAW pun mencontohkan keseimbangan dalam ibadah, istirahat, dan interaksi sosial.
Bagaimana Menerapkannya?
- Belajar memaafkan diri sendiri dan orang lain
Jangan terlalu keras dalam menyikapi kesalahan. Bertobat itu perlu, tapi terus-menerus menyalahkan diri malah membuat kita stuck. Begitu juga dengan kesalahan orang lain—memaafkan bukan berarti membiarkan, tapi melepaskan beban di hati. - Tidak berlebihan dalam menilai sesuatu
Baik dalam emosi, tindakan, maupun pola pikir, penting untuk tidak terjebak dalam ekstrem. Segala sesuatu yang berlebihan bisa menyesakkan hati dan pikiran. - Memohon keteguhan hati dalam menjalani hidup
Hidup penuh tantangan, dan kita butuh keteguhan hati untuk tetap berjalan. Dalam setiap langkah, kita bisa belajar dari doa di Ali Imran ayat 147 ini: memohon ampunan, meminta keteguhan, dan berserah diri kepada Allah.
Dengan menjaga keseimbangan ini, hidup kita bisa lebih tenang, hati lebih lapang, dan perjalanan menuju ridha Allah terasa lebih ringan.
Next Ayat
Untuk menjaga konsistensi dalam menjalani proses self-healing ini, mari kita lanjutkan dengan tahapan memohon ampunan kepada Allah dengan menyadari dosa-dosa yang telah kita perbuat. Kita akan melaluinya dengan tadabbur Surat At Tahrim ayat 8 di quran journaling day 12!
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا تُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًاۗ عَسٰى رَبُّكُمْ اَنْ يُّكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۙ يَوْمَ لَا يُخْزِى اللّٰهُ النَّبِيَّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗۚ نُوْرُهُمْ يَسْعٰى بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَبِاَيْمَانِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَتْمِمْ لَنَا نُوْرَنَا وَاغْفِرْ لَنَاۚ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanannya. Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Kesimpulan
Ali Imran ayat 147 mengajarkan kita untuk tidak berlebihan dalam emosi, pikiran, dan tindakan. Baik dalam menyikapi kesalahan, menghadapi ketakutan, maupun menjalani ibadah, dunya akhirah balance adalah kunci. Dengan memohon ampunan, keteguhan hati, dan pertolongan Allah, kita bisa menjalani hidup dengan lebih tenang, bijak, dan penuh makna.