The Context
Surat Al Hadid ayat 23 tidak memiliki sebab khusus (asbabun nuzul) yang dicatat secara spesifik dalam riwayat hadis. Namun, Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc., M.A., mengatakan bahwa ayat 23 turun sebagai lanjutan dari Surat Al Hadid ayat 20, 21, 22 dan sebelumnya. Dimana, pada ayat 19 Allah menyerukan sedekah di saat manusia lebih senang untuk berkompetisi dengan perkebunannya, perdagangannya, memperbanyak harta, juga keturunannya.
Maka mulai ayat 20 inilah Allah menekankan hakekat keadaan dunia yang mereka kumpulkan sebagai permainan, senda gurau, perhiasan untuk berbangga-bangga saja, dan kesenangan palsu. Perilaku buruk yang merupakan ciri hedonisme tersebut kelak akan merugikan manusia, layaknya tanaman hijau yang membanggakan petaninya, namun kemudian menjadi kering dan hancur tanpa bisa dipanen di akhirat.
Sementara itu, seandainya saja manusia mengikuti seruan Allah untuk berlomba-lomba dalam mendapatkan ampunan dan rahmat-Nya, niscaya manusia akan mendapatkan surga, sebagaimana tercantum pada ayat 21.
Sehingga, dikatakan pada ayat 22 bahwa, sebagaimana tercatat sebagai takdir dalam Lauh Mahfudz, dunia itu merupakan bala/ujian/fitnah bagi semua manusia. Bahkan apa yang terjadi di bumi dan masing-masing manusia merupakan musibah, baik bagi yang taat maupun durhaka kepada Allah.
Terkait penetapan takdir tersebut, Allah berfirman pada ayat 23 agar manusia tidak bersedih atas hal duniawi yang luput dari mereka, karena memang tidak ditakdirkan untuknya. Sekiranya sudah ditakdirkan, jelas mereka akan memperolehnya. Begitupun, ketika mendapatkan kenikmatan, tidak serta merta membuat mereka bahagia secara berlebihan.
The Tafsir
Surat Al-Hadid ayat 23 mengajarkan pentingnya sikap tawakal, syukur, dan sabar terhadap ketetapan Allah (takdir). Berikut poin-poin tafsir dari berbagai sumber:
1. Semua Peristiwa Sudah Ditetapkan
Allah menetapkan segala sesuatu sebelum kejadiannya, termasuk nikmat dan musibah. Ini mengajarkan kita untuk menerima takdir dengan lapang dada, baik berupa kebahagiaan maupun kesedihan. (Tafsir Kemenag, Ibnu Katsir, Al-Muyassar, As-Sa’di)
2. Sikap Terhadap Musibah dan Nikmat
Jangan terlalu bersedih terhadap apa yang luput, karena jika sudah ditakdirkan untuk terjadi, maka itu pasti akan terjadi.
Jangan pula terlalu bangga terhadap apa yang diberikan, karena nikmat itu berasal dari Allah, bukan semata hasil usaha sendiri. (Tafsir Kemenag, Ibnu Katsir, Al-Muyassar)
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ketahuilah, apa yang luput darimu tidak akan pernah menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan pernah luput darimu.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
3. Larangan Berlebihan
Ayat ini melarang kesedihan dan kegembiraan yang berlebihan. Sebaliknya, dianjurkan untuk bersyukur saat mendapatkan nikmat dan bersabar saat menghadapi musibah. (Tafsir Kemenag, As-Sa’di)
4. Allah Tidak Menyukai Kesombongan
Orang yang sombong karena nikmat yang dimilikinya dan memamerkannya kepada orang lain adalah orang yang dibenci Allah. Kesombongan ini biasanya disertai sifat kikir, enggan berbagi nikmat di jalan Allah dan suka menyusahkan orang lain. (Tafsir Kemenag, Ibnu Katsir, Al-Muyassar, As-Sa’di)
5. Hikmah dari Takdir Allah
Takdir Allah mengajarkan manusia untuk tidak terlalu tamak terhadap dunia, melainkan sibuk bersyukur atas nikmat-Nya dan mencegah azab dengan ketaatan. (Tafsir As-Sa’di)
6. Keistimewaan Ayat Ini
Prof. Dr. Quraish Shihab menerangkan bahwa Allah menurunkan ayat 23 untuk menyadarkan manusia supaya tidak terlalu sedih jika tertimpa musibah dan sombong saat sedang “di atas angin”. Sebab bagi orang taat, musibah merupakan peringatan untuk meningkatkan derajatnya, sementara bagi orang durhaka, itu adalah momen untuk bertaubat dan menjadi muslim versi terbaiknya.
Ayat ini mengingatkan agar kita menerima takdir Allah dengan hati yang ikhlas, baik dalam kesedihan maupun kebahagiaan. Sikap terbaik adalah bersyukur atas nikmat dan bersabar atas musibah, tanpa berlebihan atau menyombongkan diri. Allah mencintai hamba yang rendah hati dan bertawakal.